2015/10/30

Nilai-Nilai Sosial

Sosiologi untuk Semua Nilai-Nilai Sosial Indonesia sebagai Negara pluralis tidak saja dengan beragam budaya, bahasa, kesenian, adat istiadat, tetapi juga kaya dengan berbagai nilai dan norma sosial didalam masyarakatnya. Sebuah kekayaan yang luar biasa dan warisan dari proses perjalanan panjang memperadabkan diri semua suku di Indonesia.
 Namun, kekayaan yang luar biasa ini menyimpan bom waktu sosial yang bila tak dikelola dengan baik akan menjadi sangat menghancurkan dan mengancam eksistensi bangsa Indonesia sebagai sebuah nation. Ada lebih 300 suku hidup di tanah air Indonesia. Mereka memproduksi kebudayaan masing-masing. Mereka membangun consensus-konsensus nilai dan norma untuk menciptakan keteraturan sosial didalam sukunya, bahkan dengan suku-suku disekitarnya. Musyawarah dan gotong royong menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial yang mereka bangun dengan tujuan terciptanya masyarakat yang sejahtera, aman sentosa .
Perbedaan diantara system nilai membutuhkan tata kelola yang baik untuk menghindari konflik horizontal antar suku. Banyak kasus kerusuhan di Indonesia didasari perbedaan system nilai antar suku yang berbeda bahkan dalam suatu suku sendiri. Pemerintahan Orde Baru menekankan setiap pilihan hidup warga Negara Indonesia jangan sampai menimbulkan konflik suku, agama , ras dan antar golongan.
 Doktrin falsafah hidup berdasarkan Pancasila yang menekankan persatuan dalam keanekaragaman dilakukan secara massif dengan tujuan mencegah konflik nilai-nilai sosial antar suku, antar ras, antar golongan. Berikut ini adalah beberapa jenis nilai sosial, yaitu :
1. Nilai material, nilai material adalah nilai sebuah benda, masyarakat modern menghargainya dalam bentuk besaran nilai uangnya, dalam dollar , euro, rubel atau dalam rupiah. Contohnya sebuah Smartphone di hargai Rp. 5.000.000,-

2015/10/29

DISORGANISASI KELUARGA


Masyarakat kerap dikejutkan dengan trending topic berita media massa dan media sosial yang mengabarkan sebuah keluarga selebritis terkenal bercerai. Mereka menyangka pasangan suami istri ganteng cantik, kayaraya, harmonis, serasi, saling mencintai, akan menjadi pasangan yang awet sampai tua. Tetapi , masyarakat kemudian menjadi terperangah ketika, pasangan ideal, saling menyalahkan dan mengajukan perceraian kekantor pengadilan agama.
 Masyarakat kerap menganggap keluarga selebritis yang kaya, terkenal, ganteng-cantik sebagai sebuah wujud ideal awal sebuah kelurga bahagia. Lahirnya anak dari pasangan selebritis yang dianggap ideal menjadikan sebuah sample penghuni surga.
 Padahal , yang ideal , sebuah Keluarga bahagia terpancar dari komunikasi yang efektif, hubungan akrab antar anggotanya, saling menyayangi dan mencintai serta saling melindungi, yang diwarnai canda tawa, cahaya kebahagian dari seluruh anggotanya.
Keluarga merupakan satuan sosial laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan. Melalui perkawinan terbentuk keluarga baru. Melalui perkainan jalinan kasih, cinta dan saya ditautkan secara syah dan halal. Melalui perkawinan dua keluarga besar dibangun silaturahminya, persaudaraannya, ikatannya. Perkawinan merupakan sebuah ciri dari tingkat keberadaban dan keadaban manusia, yang membedakannya dari binatang. Karena binatang tak butuh upacara perkawinan untuk memiliki keturunan. Binatang tak memerlukan budaya kontrak legal formal secara religious atau akad nikah. Hanya manusia yang memiliki tradisi akad nikah dan rangkaian upacara pernikahan yang mempertemukan dan menjalinkan ikatan persaudaraan dua keluarga besar hingga lahir keturunan yang memperkuat dua keluarga besar, khususnya ikatan Suami dan Istri.
  Keluarga baru tersebut kemudian memiliki keturunan atau anak. Mereka membentuk keluarga inti. Keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak. Hadirnya seorang anak membuat sang suami dan sang istri menjadi Bapak dan Ibu bagi anaknya. Ada tanggungjawab baru,yang menjadi tugas suci kedua orangtua terhadap anaknya. Secara sosiologis Keluarga menjalankan fungsi penting bagi anak-anak , yaitu :
1. Mengajarkan dan mendidik dengan landasan nilai dan norma agama serta etika berperilaku di masyarakatnya. Anak sebagai ciptaan Tuhan yang ditipkan keorangtuanya membuat orangtua punya tanggung jawab suci menjadikan anaknya manusia religious dan lurus dijalan hidup yang didesain Sang Maha Pencipta.
2. Mengurus anak dari segi jasmani sehingga tumbuh sehat. Masa anak dalam kandungan, masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak dan remaja, seorang anak membutuhkan bantuan orangtua untuk membesarkan fisiknya dan mampu bersaing dan mempertahankan dirinya dari berbagai ancaman yang dating kepadanya.
3. Mengubah anak-anak menjadi manusia yang mampu bermasyarakat dan hidup ditengah-tengah masyarakatnya dengan peran yang signifikan. Dengan diberi makan bergizi Anak tumbuh menjadi dewasa secara fisik. Tetapi, sebagai manusia ia tidak hanya harus besar tetapi juga memiliki kedewasaan sosial. Ia harus punya simpati dan empati terhadap lingkungan sosialnya. Ia harus memberi peran tertentu bagi peningkatan kualitas lingkungan sosialnya.
 Dalam hidup, diawal – awal perkawinan , sebuah pasangan pengantin terlihat yang saling mencintai, sangat harmonis, pasangan ideal, kemana-mana berdua dan selalu mesra. Tetapi, perjalanan waktu kerap menyatakan hidup tak selalu lurus, datang berbagai masalah, hadirnya orang ketiga, kehilangan pekerjaan, sakit dll datang , bahkan ketika” anak “ menjadi sumber masalah , anak menjadi penguji si pasangan ideal.
 Masalah yang datang bertubi-tubi memunculkan rasa frustasi, saling curiga, saling curiga, saling meremehkan, saling mencela, perang dingin,bosan terhadap pasangan nikah dan akhirnya muncullah retak-retak sikap, retak-retak komunikasi, cinta menurun, kasih sayang merosot tajam, anak terabaikan, perpecahan mengancam. Keluargapun mengalami disorganisasi. Ketika anak tumbuh dan makin berfikir, maka kehidupan orangtuanya menjadi potret besar yang terus selalu dilihat dan dibacanya, termasuk disorganisasi dalam keluarganya.
 Apalagi ketika perhatian dan komunikasi dari keduanya tak sesempurna yang diinginkannya, maka, konflik menjadi konflik segitiga dan bila tak ditangani maka perpecahan dalam bentuk perceraian manjadi solusi yang dibenci siapapun. Termasuk oleh keluarga inti tadi. Dan akhirnya sang anak menjadi korbannya.
 Sumber Pustaka :
1. Idianto Muin. Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga, 2013
2. Suhardi dkk. Sosiologi untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan,Depdiknas,2009
3. Drs. Taufiqurrohman Dhohiri dkk. Sosiologi, suatu kajian kehidupan masyarakat. Jakarta: Yudhistira, 2007
4. Siti Waridah dkk. Antropologi untuk SMU kelas 3. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
5. Asadullah Al Faruq. Ketika Keluarga tak seindah Surga. Solo: Al Kamil Publishing, 2013

2015/10/26

Memudarnya Norma Agama !

Media massa sering mengungkapkan banyak kasus pelecehan seksual, kasus criminal, kasus-kasus korupsi.  Reaksi masyarakatpun beragam.  Muncul pro kontra.  Tetapi, secara umum masyarakat tidak suka terhadap berbagai bentuk perilaku menyimpang yang ada dilingkungan dan di zamannya.
Munculnya perilaku menyimpang yang semakin massif sangat memprihatinkan semua lapisan masyarakat.  Para pelaku kerap berkilah sedang khilaf, sedang lupa.  Bahkan berargumen tidak tahu dengan nilai dan norma yang benar.
Dari kasus-kasus penyimpangan sosial, terjadinya kasus tersebut bukan sekedar akibat pergeseran nilai-nilai akibat adanya pembangunan, tetapi lebih merupakan factor sosialisasi nilai dan norma masyarakat yang sangat kurang.  Banyak orangtua yang kurang menanamkan pemahaman dan praktik nilai dan norma hidup yang benar kepada anak-anaknya. 
Banyak orangtua yang memberi contoh pelanggaran terhadap berbagai nilai dan norma masyarakat, misalnya norma perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang seharusnya  melalui akad nikah dan serangkaian upacara perkawinan terlebih dahulu.  Bukan berzina atau kumpul kebo, free sex atau bentuk perilaku binatang laiinya .  Sosialisasi norma-norma agama yang kurang dapat terjadi karena :
1.       Pemahaman orang tua yang dangkal terhadap ajaran agama yang dianutnya membuat orang tua tak bisa mensosialisasikan norma-norma agama ke anak keturunannya.  Sehingga, anak tidak tahu norma agama dan bentuk perilaku norma agama dalam kehidupan dirumahnya dan ditengah-tengah masyarakat.  Orangtua tak memberi contoh . Banyak orang tua tak mampu memberi argument yang pas tentang sebuah norma.
2.       Ideologi orang tua yang tidak merujuk kepada norma agama atau menganut ideology sekuler membuat norma agama tidak dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari.  Sikap tidak kritis terhadap ideology sekulernya membuat ia menganggap norma-norma agama sebagai hal yang menyimpang dari norma-norma ideology sekulernya. Sebagai contoh sholat merupakan kewajiban bagi penganut ideology islam, sholat berjamaah sangat baik bagi sebuah keluarga untuk mendekatkan psikologi sosial keluarga,  tetapi tak perlu sholat bagi penganut ideology sekuler.
3.       Lingkungan sosial yang rusak dapat menyebabkan sosialisasi norma-norma agama banyak mendapatkan hambatan, akibatnya Sosialisasi tidak berjalan optimal.  Nilai dan norma tak bisa disampaikan secara efektif.  Penguasaan nilai dan norma tidak optimal.  Anak kehilangan arah dan mencari kompensari diluar rumah kedalam perilaku yang menyimpang dari nilai dan norma yang dinut masyarakatnya. 
4.       Perubahan lingkungan politik.  Pergantian pemerintahan dapat menyebabkan lancar dan tidaknya sosialisasi norma-norma agama di Masyarakat.  Pada  kasus di Uni Sovyet ( sekarang Rusia ), mendirikan mesjid dan pengajaran norma-norma agama Islam di sekolah-sekolah Islam sangat dilarang, keberadaan sekolah Islampun dilarang, bahkan banyak mesjid dirubah jadi kandang sapi, jadi gudang dll.  Sehingga, proses sosialisasi norma-norma agama tidak dapat dilaksanakan secara sistematis dan disisi lain anak didoktrin oleh ajaran ideology komunisme yang normanya tidak sesuai dengan norma-norma Islam.  Di Negara-negara barat ( Inggris, Jerman )pelarangan, setidaknya hambatan-hambatan administrative masih terjadi dan mengurangi sosialisasi norma-norma agama. Kasus sebaliknya di Iran, setelah revolusi Islam, Negara berubah menjadi Negara Islam, maka melalui berbagai lembaga, khususnya lembaga –lembaga pendidikan,norma-norma islam disosialisasikan secara massif.
5.       Tidak adanya kemasan yang menarik dan event yang sesuai untuk banyak melakukan sosialisasi norma-norma agama. Kalaupun ada hanya selama bulan ramadhan. Kehidupan orangtua yang materialistic membuat sosialisasi norma-norma agama tidak maksimal. Sebaliknya,  budaya sekuler yang ditayangkan melalui media masa dan media sosial merajalela.   Kondisi ini membuat daya tarik norma-norma agama bagi generasi muda memudar.

Sumber Pustaka :
1.       Idianto Muin. Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga, 2013
2.       Suhardi dkk. Sosiologi untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Pusat Perbukuan,Depdiknas,2009

3.       Drs. Taufiqurrohman Dhohiri dkk. Sosiologi, suatu kajian kehidupan masyarakat. Jakarta: Yudhistira, 2007

Dampak Covid 19 dibidang pendidikan